MAKALAH
PERPAJAKAN
TENTANG
SPT, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK
SEKOLAH
TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) BIMA
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur
alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah-Nya yang sangat besar sehingga saya
pada akhirnya bisa menyelesaikan Makalah SPT, Pembayaran dan Pelaporan Pajak
tepat pada waktunya.
Rasa terima
kasih juga kami ucapkan kepada Dosen Pembimbing yang selalu memberikan dukungan
serta bimbingannya sehingga Makalah SPT, Pembayaran dan Pelaporan Pajak ini
dapat disusun dengan baik.
Semoga
Laporan Praktikum Biologi yang telah kami susun ini turut memperkaya khazanah
ilmu biologi serta bisa menambah pengetahuan dan pengalaman para pembaca.
Selayaknya
kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna. Kami juga
menyadari bahwa Makalah SPT, Pembayaran dan Pelaporan Pajak ini juga masih
memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan saran serta masukan
dari para pembaca sekalian demi penyusunan Makalah SPT, Pembayaran dan
Pelaporan Pajak dengan tema serupa yang lebih baik lagi.
1 Oktober 2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara
langsung. Pajak juga disebut sumber penerimaan negara untuk pembiayaan
pemerintah dan pembangunan di Indonesia. Peran pajak terhadap penerimaan negara
dari tahun ke tahun semakin dominan, terutama sejak penerimaan minyak dan gas
bumi tidak mampu lagi membiayai belanja pemerintah. Semakin besarnya peranan
pajak dalam pembangunan menjadi perhatian semua pihak, karena tingginya pajak
menunjukkan kemampuan kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan dari
seluruh komponen bangsa. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma- hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa
kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum.
Pajak merupakan sumber utama pemasukan negara yang dalam
penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Direktorat Jendral Pajak. Pajak memberikan
manfaat secara tidak langsung bagi masyarakat,karena kontraprestasi yang akan
dikembalikan pada masyarakat adalah dalam bentuk pembangunan infrasruktur dan
fasilitas umum,sehingga pajak tersebut seharusnya dapat dinikmati secara merata
oleh seluruh lapisan masyarakat. Selain untuk membangun infrastruktur dan
fasilitas umum, pajak juga dipergunakan untuk membayar gaji pegawai
negeri,pensiunan pegawai negeri,bahkan subsidi yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat berasal dari pajak yang dibayarkan.
Berbagai macam subsidi yang dikeluarkan pemerintah
diantaranya subsidi BBM, listrik, Bantuan Langsung Tunai (BLT),Raskin,dan
Jamkesmas.Namun pada prakteknya subsidi ini tidak tepat sasaran. Hal ini
tantangan bagi Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang menghimpun
penerimaan negara dari pajak. DJP memiliki visi menjadi institusi pemerintah
yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif,
efisien,dan dapat dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme
yang tinggi dan menghimpun pajak negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan
yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1)
Bagaimana cara pembayaran dan pelaporan Pajak ?
2)
Apa syarat-syarat pembayaran dan pelaporan Pajak ?
3)
Apa saja fungsi,tujuan dan kegunaan pembayaran dan pelaporan
pajak ?
4)
Berapa lama jangka waktu pembayaran dan pelaporan Pajak ?
5)
Apa sanksi yang diberikan jika wajib pajak belum melakukan
pembayaran dan pelaporan Pajak ?
6)
Bagaimana jika terjadi kelebihan Pembayaran Pajak ?
BAB 2
KAJIAN TEORI
2.1.
Teks Book
a. Pembayaran pajak.
Dalam
sistem self assessment wajib pajak harus menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakan ke kantor pelayanan pajak atau
kantor penyuluhan pajak. Pembayaran pajak dilakukan dengan menggunakan surat
setoran pajak (ssp) dan untuk pelaporan menggunakan surat pemberitahuan (sp).
b.
Surat storan pajak.
Surat
setoran pajak (ssp) adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui
kantor pos dan/ atau bank badan usaha nilik negara atau bank badan usaha milik
negara atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.
SSP dibagi menjadi menjadi 2 (dua), adalah sebagai berikut:
- SSP standar adalah surat yang
oleh wajib pajak digunakan atau berfungsi untuk melakukan pembayaran atau
penyetoran pajak yang terutang ke kantor penerimaaan pembayaran dan
digunakan sebagai bukti pembayaran.
- SSP khusus adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak terutang ke kantor penerimaan pajak yang
dicetak oleh kantor penerimaan pembayaran dengan menggunakan mesin
transaksi dan/ atau alat lain yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam
keputusan dirjen pajak dan mempunyai fungsi yang sama dengan SSP standar
dalam administrasi perpajakan.
SSP standar dibuat dalam rangkap
lima (5) yang peruntukannya sebagai berikut:
Lembar1:
untuk arsip wajib pajak.
Lembar2:
untuk kantor pelayanan pajak melalui kantor pembendaharaan dan kas negara.
Lembar3:
untuk dilaporkan wajib pajak ke kantor pelayanan pajak.
Lembar4:
untuk arsip kantor penerimaan pembayaaran.
Lembar5:
untuk arsip wajib pungut dan pihak lain sesuai dengan ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku.
SSP khusus dicetak oleh kantor penerimaan
pembayaran yang telah mengadakan kerjasama monitoring pelaporan pembayaran
pajak (mp3) dengan dirjan pajak.
Cara pengisian SSP khusus adalah sebagai berikut:
- NPWP diisi dengan NPWP 11 dihit
apabila SSP digunakan untuk melakukan pembayaran sebelum 31 maret 2001.
- NPWP baru 15 digit yang
diterima oleh wajib pajak sebelum tanggal 1 april 2001 baru digunakan
untuk identitas pembayaran pajak sejak 1 april 2001 dengan menggunakan SSP
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dirjen pajak.
- NTPP dan/ atau NTB dicantumkan
pada ” ruang teraan”
c.
Surat pemberitahuan
Surat
pemberitahuan (spt) adalah surat yang oleh wajip pajak digunakan untuk
melaporkan perhitungan dan/ atau pembayaran pajak, objek pajak dan/ atau bukan
objek pajak dan/ atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan paraturan
perundangan-undangan perpajakan.
Fungsi surat pemberitahuan.
- Bagi wajib pajak, surat
pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melapor dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang:
- Pembayara
atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakkan sendiri dan/ atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) tahun pajak bagian
tahun pajak
- Penghasilan
yang merupakan objek pajak dan/ atau bukan objek pajak.
- Harta
dan kewajiban.
- Pembayaran
dari pemotongan atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak
orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa, yang ditentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
- Bagi
pengusaha kena pajak fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana
untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak
pertumbuhan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang sebenarnya
tertuang dan untuk melaporkan tentang:
1) Perkreditan pajak masukan terhadap
pajak keluaran.
2) Pembayaran atau pelunasan pajak yang
telah dilaksanaakan sendiri oleh pengusaha kena pajak dan/ atau melalui pihak
lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3) Bagi pemotong atau pemungut pajak,
fungsi surat pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan setorkan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
Pengertian Pajak
Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat
dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut
penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa
kolektif untuk
mencapai kesejahteraan umum atau pajak merupakan kewajiban kenegaraan dan
pengabdian peran aktif warga negara dalam upaya pembiayaan pembangunan nasional
kewajiban perpajakan setiap warga negara diatur dalam Undang-Undang dan
Peraturan-peraturan pemerintah.
Pajak
menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara
perpajakan adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan
tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari pengertian itu dapat
disimpulkan unsur-unsur yang terdapat dalam pajak ialah:
1.
Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan
pelaksananya;
2.
Sifatnya dapat dipaksakan, hal ini berarti bahwa
pelanggaran atas iuran perpajakan dapat dikenakan sanksi;
3.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya
kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah;
4.
Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat
maupun daerah. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
yang bila dari pemasukannya masih surplus, dipergunakan untuk membiayai public
investment.
3.2
Cara Pembayaran dan pelaporan Pajak
Pembayaran
dan pelaporan Pajak dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas sistem
pembayaran online, dilaksanakan melalui Teller Bank Persepsi/Devisa Persepsi
online atau menggunakan fasilitas alat transaksi yang disediakan oleh Bank
Persepsi/ Devisa Persepsi online.
- Cara pembayaran Melalui Teller
Bank:
A) Wajib Pajak (WP) mendatangi
teller Bank dengan membawa:
1) Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah
diisi secara lengkap dan benar atau data yang lengkap dan benar tentang :
·
Nomor Pokok Wajib Pajak.
·
Kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sesuai dengan jenis
pajak yang akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP.
·
Kode Jenis Setoran (KJS) sesuai dengan jenis setoran pajak
yang akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk Pengisian SSP (pada
kolom pertama tabel MAP yang bersangkutan).
·
Nomor ketetapan sebagaimana tercantum dalam SKPKB, SKPKBT,
atau STP yang akan dibayar ( hanya diisi apabila pembayaran dilakukan untuk
melunasi SKPKB, SKPKBT, atau STP).
·
Masa Pajak, yang menunjukkan periode kewajiban pajak yang
akan dibayar, misalnya masa Agustus tahun 2002 diisi dengan 08-2002. Apabila
membayar PPh Pasal 29 tahunan, setelah kode jenis setoran diisi dengan 200 maka
bulan dalam masa pajak akan terisi 00 sehingga WP hanya tinggal mengisi empat
digit tahun pajak.
2)
Alat Pembayaran senilai Pajak yang akan dibayarkan.
3)
WP menyampaikan SSP yang telah diisi secara lengkap dan
benar atau Data yang lengkap dan benar serta alat pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam angka 1 huruf a dan b diatas kepada Teller Bank Persepsi/Devisa
Persepsi Online.
4)
WP menjawab kebenaran identitas WP tentang Nama WP dan
Alamat WP.
5)
WP menerima Kembali SSP yang telah disahkan dengan tanda
tangan petugas teller dan cap Bank serta diberi Nomor Transaksi Pembayaran
Pajak (NTPP) dan atau Nomor Transaksi Bank (NTB), dan atau SSP yang dicetak
oleh Bank yang telah diberi NTPP dan atau NTB dari Teller.
6)
WP memeriksa kebenaran SSP yang diterima dari Teller.
7)
WP melaporkan SSP ke KPP sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
2. Cara Pembayaran Pajak Menggunakan
Fasilitas Alat Transaksi Bank (misalnya ATM dan Internet Banking) :
A) WP mendatangi alat transaksi bank
dengan membawa data yang lengkap dan benar tentang:
1) Nomor Pokok Wajib Pajak.
2) Kode Mata Anggaran Penerimaan sesuai
dengan jenis pajak yang akan dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk
Pengisian SSP (pada keterangan diatas setiap tabel).
3) Kode Jenis Setoran sesuai dengan
jenis setoran pajak yang dibayar, sebagaimana diatur dalam Buku Petunjuk
Pengisian SSP (pada kolom pertama tabel MAP yang bersangkutan)
4) Nomor ketetapan sebagaimana
tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, atau STP yang akan dibayar (hanya diisi apabila
pembayaran digunakan untuk melunasi SKPKB, SKPKBT, atau STP).
5) Masa Pajak, yang menunjukkan periode
kewajiban pajak yang akan dibayar, misalnya masa Agustus tahun 2002 diisi
dengan 08-2002. Apabila membayar PPh Pasal 29 tahunan, setelah kode jenis
setoran diisi dengan 200 maka bulan dalam masa pajak akan terisi 00 sehingga WP
hanya tinggal mengisi empat digit tahun pajak.
B). WP membuka menu Pembayaran
Pajak.
C).
WP mengisi elemen dalam tampilan dengan data sebagaimana dimaksud dalam angka 1
diatas secara tepat, lengkap dan benar.
D).
WP meneliti Identitas WP yang terdiri dari nama dan Alamat WP yang muncul pada
tampilan. Apabila Identitas WP yang terdiri dari nama dan Alamat WP pada
tampilan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka proses berikutnya harus
dibatalkan dan kembali kepada menu sebelumnya untuk mengulang pemasukan data
yang diperlukan.
E).
WP mengisi elemen data lainnya yang diperlukan dalam tampilan berikutnya secara
tepat.
F). WP mengambil SSP hasil
keluaran fasilitas alat transaksi Bank.
G). WP memeriksa kebenaran SSP
yang diperoleh.
H). WP melaporkan SSP ke KPP
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Pembayaran Pajak Menggunakan
Fasilitas Cash Management Service (CMS).
Pembayaran
melalui CMS dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Bank dan nasabah (Wajib
Pajak) sepanjang sistem yang menangani jenis pelayanan ini terhubung secara
online dengan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
3.3
Syarat-syarat dalam Pembayaran dan pelaporan Pajak
Tidaklah
mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar
pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena
dana yang kurang. Agar tidak menimbulkan berbagai masalah, maka pemungutan
pajak harus memenuhi persyaratan yaitu:
- Pemungutan pajak harus adil
Seperti
halnya produk hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan
dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam
pelaksanaannya. Contohnya:
- Dengan mengatur hak dan
kewajiban para wajib pajak.
- Pajak diberlakukan bagi setiap
warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak.
- Sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum
sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.
- Pengaturan pajak harus
berdasarkan UU
Sesuai
dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
1)
Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus
dijamin kelancarannya.
2) Jaminan hukum
bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum.
3) Jaminan hukum
akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak.
- Pungutan pajak tidak mengganggu
perekonomian
Pemungutan
pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai
merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha
masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.
- Pemungutan pajak harus efesien
Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus
diperhitungkan. Jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya
pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus
sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan
mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun
dari segi waktu.
- Sistem pemungutan pajak harus
sederhana
Bagaimana
pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem
yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang
harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para wajib pajak
untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem
pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak. Contoh:
1) Bea
materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
2)
Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
3)
Pajak perseorangan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan
disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun
perseorangan (pribadi)
3.4
Fungsi dan Manfaat Pembayaran dan Pelaporan Pajak
A.
FUNGSI
Pajak
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di
dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi,
yaitu:
·
Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai
sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan
pembangunan, negara membutuhkan biaya.Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk
pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi
pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan
sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama
diharapkan dari sektor pajak.
·
Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur,
pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka
menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai
macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam
negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
·
Fungsi stabilitas
Dengan
adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasidapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain
dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,
penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
·
Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang
sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka
kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
B. MANFAAT
Sebagaimana
halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara
juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan
sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara
sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari
belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan.
Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah
sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal
dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa
aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan
sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari
pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan
demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat
dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Secara singkat pajak dimanfaatkan untuk mendanai:
·
Pembangunan fasilitas dan infrastruktur
·
Alokasi Dana Umum
·
Pemilihan Umum ( PEMILU)
·
Penegakan hukum
·
Subsidi pangan dan BBM
·
Pelayanan Kesehatan
·
Pendidikan
·
Pertahanan dan Keamanan
·
Kelestarian lingkungan hidup
·
Kelestarian budaya
·
Transportasi missal
3.5
Batas Waktu Pembayaran dan Pelaporan Pajak
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 80/PMK.03/2010, batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak diatur sebagai
berikut:
1. Penyetoran
Pajak
a. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong
oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali ditetapkan lain
oleh Menteri Keuangan.
b. PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal
15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir kecuali
ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
c. PPh Pasal 15 yang dipotong oleh
Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
d. PPh Pasal 15 yang harus dibayar
sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
e. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh
Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
f. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang
dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
g. PPh Pasal 25 harus dibayar paling
lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
h. PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM
atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan
dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN
dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
pemberitahuan pabean impor.
i.
PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang
dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam
jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
j.
PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada
hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang
dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
k. PPh Pasal 22 atas penyerahan bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas kepada penyalur/agen atau industri yang
dipungut oleh Wajib Pajak badan yang bergerak dalam bidang produksi bahan
bakar minyak, gas, dan pelumas, harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
l.
PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak
badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
m. PPN yang terutang atas kegiatan
membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan
yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima
belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(a).
PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi
atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
n. PPN atau PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN,
harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir
(a). PPN
atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan
Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang
sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
o. PPN atau PPN dan PPnBM yang
pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang
ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir.
p. PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan
kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu
Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak
terakhir.
q. Pembayaran masa selain PPh Pasal 25
bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu
Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu
untuk masing-masing jenis pajak.
2. Pelaporan
Pajak
Ø Wajib Pajak orang pribadi atau
badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk
sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat
(11), dan ayat (12) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa paling
lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
a) Pengusaha Kena Pajak wajib
melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (13) dan ayat (13a), serta Pasal 2A, dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Masa PPN ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha
Kena Pajak dikukuhkan, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
b)
Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak
wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13) dengan menggunakan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat
bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir.
c) Orang pribadi atau badan yang bukan
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah
disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (13a) dengan menggunakan
lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan
badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah
saat terutangnya pajak.
1.
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (9)
wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari
kerja terakhir minggu berikutnya.
2.
Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10)
wajib melaporkan hasil pemungutannya paling lama 14 (empat belas) hari setelah
Masa Pajak berakhir.
a.
Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang
telah disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (14) dan ayat (15)
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir
bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
3.
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (16) dan ayat (17) yang melaporkan beberapa Masa Pajak
dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan
Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
3.6.
Sanksi yang diberikan jika Wajib Pajak belum Melakukan Pembayaran dan Pelaporan
Pajak
Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah
lndonesia memilih menerapkan self
assessment system dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak.
Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung
menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Untuk dapat menjalankannya dengan
baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan pengetahuan pajak, baik dari segi
peraturan maupun teknis administrasinya. Agar pelaksanaannya dapat tertib dan
sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah menyiapkan rambu-rambu yang
diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.
Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya,
jika kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang
bisa terjadi. Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi
perpajakan.
Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah
sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga
mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan.
Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari
agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis
sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya. Ada 2 macam Sanksi perpajakan,
yaitu:
1.
Sanksi Administrasi
Terdiri dari:
- Sanksi Administrasi Berupa
Denda
Sanksi
denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan.
Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase
dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari
jumlah tertentu.
Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana.
Pelanggaran yang juga dikenai sanksi
pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja. Untuk
mengetahui lebih laniut, dalam tabel 1 dimuat hal-hal yang dapat
menyebabkan sanksi administrasi berupa denda, bentuk pengenaan denda, dan
besarnya denda.
- Sanksi Administrasi Berupa
Bunga
Sanksi
administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang
pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban
sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat
beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak.
Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga
berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung
berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya
bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar.
Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar
sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan,
maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi.
Perbedaan
lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan
perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain,
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara
harian. Untuk mengetahui lebih Jelas mengenai hal-hal yang dapat menyebabkan
sanksi bunga dan penghitungan besarnya bunga dalam pajak.
c. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika
melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi
yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi
tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi
berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari
jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika
dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak
tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah
pajak terutang. Untuk lebih jelasnya, hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi
berupa kenaikan dan besarnya kenaikan dapat dilihat dalam tabel 3.
2.
Sanksi Pidana
Kita
sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan
pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya,
pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan
Wajib Pajak.
Namun,
pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam
pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal
38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi.
Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang
isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum
pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan.
Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan
kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan
kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan
kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski
dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang
perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya
masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang
bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan
daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar
penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU
Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur
dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan
lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai
dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.
3.7.
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pengembalian
kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau
telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan
Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.
A.
Tata Cara Pengembalian Kelebihan
Pembayaran Pajak
Dalam hal
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari pada jumlah
pajak yang terutang:
a. Wajib Pajak (WP) dapat mengajukan
permohonan restitusi ke Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) tempat WP terdaftar atau berdomisili.
b. Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal:
·
Pajak Penghasilan, apabila jumlah kredit pajak lebih besar
daripada jumlah pajak
yang
terutang.
·
Pajak Pertambahan Nilai, apabila jumlah kredit pajak lebih
besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung
dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut.
·
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, apabila jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
c. SKPLB diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima
secara lengkap.
1.
Dalam hal pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang:
Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh WP yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.
Pajak yang yang seharusnya tidak terutang adalah pajak yang telah dibayar oleh WP yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan atau bukan merupakan objek pajak.
Ø Wajib Pajak (WP orang pribadi dan
badan termasuk orang pribadi yang belum memiliki NPWP) dapat mengajukan
permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP tempat WP
terdaftar atau berdomisili, apabila terjadi kesalahan pembayaran pajak atas
pajak yang seharusnya tidak terutang. Surat permohonan harus melampirkan:
·
Asli bukti pembayaran pajak
·
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang
·
Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
2.
WP yang dipotong atau dipungut (PPh, PPN dan PPnBM) dapat
mengajukan permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP
tempat WP yang dipotong atau yang dipungut terdaftar atau melalui KPP tempat
Pengusaha Kena Pajak yang dipungut dikukuhkan dengan catatan PPh dan PPN serta
PPnBM yang dipotong atau dipungut belum dikreditkan atau dibiayakan. Surat
permohonan harus melampirkan:
·
Asli bukti pemotongan/pemungutan pajak.
·
Perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang, dan.
·
Alasan permohonan pengembalian pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang.
3.
WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan dapat
mengajukan permohonan restitusi ke kantor Direktur Jenderal Pajak melalui KPP
tempat WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan terdaftar atau Pengusaha
Kena Pajak yang melakukan pemungutan dikukuhkan, apabila terjadi kesalahan
pemotongan atau pemungutan pajak yang dilakukannya dan pihak yang dipotong atau
dipungut adalah :
§ orang pribadi yang belum memiliki
NPWP;
§ subjek pajak luar negeri; atau
§ terdapat kesalahan penerapan
ketentuan oleh pemotong atau pemungutan kecuali WP yang melakukan pemotongan
atau pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena
pembubaran usaha.
Surat permohonan harus melampirkan :
Surat permohonan harus melampirkan :
§ Asli bukti pembayaran pajak;
§ Perhitungan pajak yang seharusnya
tidak terutang;
§ Alasan permohonan pengembalian
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan d. Surat kuasa dari pihak
yang dipotong atau dipungut kepada WP yang melakukan pemotongan atau pemungutan
atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
4.
Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap
permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam
jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan WP diterima secara
lengkap dan menerbitkan SKPLB bila hasil penelitian tersebut terdapat
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila hasil penelitian tidak
terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, maka Direktur Jenderal Pajak
harus memberitahu secara tertulis kepada WP.
B. Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak Kepada Wajib Pajak yang
Memenuhi Persyaratan Tertentu
Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak adalah :
- Wajib Pajak orang pribadi yang
tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
- Wajib Pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha
yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh kurang dari Rp1.800.000.000,00 (satu
milyar delapan ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya kurang dari
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau paling banyak 0,5% (setengah
persen) dari jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh
tersebut;
- Wajib Pajak badan dengan
jumlah peredaran usaha yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan jumlah lebih bayarnya kurang
dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah); atau
- Pengusaha Kena Pajak yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan
jumlah penyerahan untuk suatu Masa Pajak paling banyak Rp 400.000.000,00
(empat ratus juta rupiah) dan jumlah lebih bayarnya paling banyak Rp
28.000.000,00 (dua puluh delapan juta rupiah).
Terhadap
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang
memenuhi persyaratan tertentu, Kepala KPP melakukan penelitian atas :
- Kelengkapan SPT dan
lampiran-lampirannya;
- Kebenaran penulisan dan
penghitungan pajak;
- Kebenaran pembayaran pajak yang
telah dilakukan oleh WP; dan
- Kebenaran alamat yang tercantum
dalam SPT tersebut atau dalam SPT perubahan alamat. Dan menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)
bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan dan
paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Pertambahan Nilai. Dalam hal hasil penelitian menyatakan tidak lebih
bayar, lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak benar, atau
alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan
pemberitahuan perubahan alamat sehingga Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak tidak diterbitkan, maka Kepala KPP harus
memberitahu secara tertulis kepada WP.
BAB IV
STUDI KASUS
Rizki (2006) melakukan penelitian tentang identifikasi kepatuhan wajib pajak
dalam membayar PPB pada Dinas Pendapatan Kota Batu, dari hasil penelitian ini
diperoleh bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri dari
tahun ke tahun mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2004 sebesar 78,47 % dan
pada tahun 2005 menjadi 83,73%. Pada saat menyetorkan kembali Surat
Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) juga mengalami peningkatan yaitu pada tahun
2004 sebesar 39,23% dan pada tahun 2005 sebesar 72,95% sedangkan dalam
pembayaran pajak terhutang ditemukan adanya ketidakpatuhan wajib pajak yaitu
pada tahun 2004 sebesar 99,88% dan pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi
89,79% sedangkan pada saat pembayaran tunggakan mengalami peningkatan yaitu
pada tahun 2004 sebesar 4,89% dan pada tahun 2005 sebesar 6,19%.
Ningsih (2007) juga melakukan penelitian tentang
Identifikasi Kepatuhan Wajib Pajak dalam Membayar Pajak Bumi dan Bangunan pada
Dinas Pendapatan Kota Malang, dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa tingkat
keptuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri mengalami peningkatan yaitu pada
tahun 2005 sebesar 47,91% dan pada tahun 2006 menjadi 62,91%. Pada saat
menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) juga mengalami
peningkatan yaitu pada tahun 2005 sebesar 47,91% dan pada tahun 2006 sebesar
62,91% sedangkan dalam pembayaran pajak terhutang ditemukan adanya
ketidakpatuhan wajib pajak yaitu pada tahun 2005 yaitu sebesar 85,14% dan pada
2006 sebesar 94,19%. Pada saat pembayaran tunggakan mengalami peningkatan yaitu
pada tahun 2005 sebesar 15,40% dan pada tahun 2006 sebesar 23,80%. Adapun
factor-faktor yang menyebabkan wajib pajak tidak melaksanakan kewajibannya
yaitu, pelayanan yang dilakukan kantor pajak atau lembaga lain yang ditunjuk
oleh kantor pajak dalam hal pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan kurang memuaskan
sehingga wajib pajak malas membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Kurangnya
penyuluhan atau terbatasnya informasi masyarakat tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, dan wajib pajak asli Kota Malang yang berdomisili di Kota Malang
sehingga wajib pajak kesulitan membayar Pajak Bumi mdan Bangungan,
Yulius (2010) melakukan analisa tingkat kepatuhan wajib
pajak orang pribadi terhadap penyampaian SPT di Kota Pontianak tahun 2007-2009
menerangkan bahwa tingkat kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakan secara umum masih sangat rendah, hal ini disebabkan karena masih
awamnya Wajib Pajak dalam hal pengetahuan tentang Perpajakan itu sendiri sehingga
menimbulkan ketidaktahuan Wajib Pajak akan arti penting pembayaran pajak yang
mereka bayar. Hal ini terlihat dalam persentase pelaporan SPT Tahunan mengalami
penurunan, yaitu pada tahun 2008 adalah 43.29% terjadi kenaikan sebesar 15.00%
dari 28.29%, sedangkan pada tahun 2009 selisih penurunan sangat signifikan
yaitu 18.21% dari 43.29%, dari pelaporan SPT Tahunan tersebut untuk jumlah
wajib pajak yang terdaftar mengalami peningkatan yang begitu besar setiap
tahunnya.
Dari paparan diatas terlihat jelas bahwa sebenarnya yang
menjadi peranan penting dalam peningkatan jumlah penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah adalah Kantor
Pelayanan Pajak, Kebijakan – kebijakan yang telah di buat oleh Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Pontianak ternyata mampu membuat Wajib Pajak tergugah sehingga
mereka mau mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ),
tetapi dengan banyaknya masyarakat yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan
NPWP tidak dibarengi dengan jumlah wajib pajak yang melaporkan Surat
Pemberitahuannya ( SPT ), sehingga ini menjadi suatu pekerjaan rumah bagi
Kantor Pelayanan Pajak Pontianak untuk lebih meningkatkan kualitas kerja.
Keterkaitan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
mempunyai kesamaan dalam hal meneliti tingkat kepatuhan wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakan. Dan perbedaannya dengan penelitian terdahulu
adalah penulis meneliti tentang keptuhan wajib pajak dalam menbayar pajak
penghasilan di tahun 2009–2010.
DOKUMENTASI
1.
Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21

2.
PPh
Pasal 22

3.
PPh
Pasal 23

4.
PPh Pasal 25

5.
PPh Pasal 4 ayat 2

6.
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPnBM)

7.
Pemungut PPN

8. Spt Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi

9.
formulir surat setoran pajak untuk
arsip wajib pajak

DAFTAR PUSTAKA
Moh.Zain
dan Kustandi Arinti, 1990, Pembaharuan perpajakan nasional, citra Aditya Bakti.
Bandung.
Santoso
Broto Diharjo, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Revisi, Erosco. Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar