TUGAS
PERPAJAKAN
“Contoh Kasus Tax
Avoidance dan Tax Evasion”
Contoh Kasus Tax Avoidance
"Gelombang
Penghindaran Pajak dalam Pusaran Batu Bara"
Indonesia merupakan pemain kunci dalam
percaturan industri pertambangan batu bara dunia. Selama puluhan tahun,
industri batu bara selalu dianakemaskan oleh negara lantaran kontribusinya
besar dalam perekonomian nasional. Bahkan, kala krisis ekonomi global 2008
melanda, berkat sumbangsih industri batu bara maka kondisi ekonomi Indonesia
masih tetap tumbuh. Posisi tersebut membuat pelaku industri pertambangan batu
bara relatif tidak mendapatkan pengawasan yang memadai, sehingga acap kali
terjadi kasus kerusakan lingkungan dan praktik-praktik imoral berupa
penghindaran pajak (tax avoidance).
Batu bara merupakan sumber energi paling primadona.
Saat ini hampir 40% sumber pembangkit listrik dunia bersumber dari batu bara.
Walaupun tren pemanfaatan energi terbarukan makin tinggi dan bauran energi yang
bersumber dari air, angin, cahaya matahari dan panas bumi dengan energi
"kotor" yang bersumber dari batu bara dan minyak bumi, namun batu
bari masih akan menjadi pilihan utama dalam memproduksi energi. Menurut BP
Energy Outlook 2018, batu bara masih akan berkontribusi setidaknya 30% sebagai
sumber energi pembangkit listrik dunia. Selain digunakan sebagai sumber energi
pembangkit listrik, batu bara juga merupakan bahan untuk berbagai komoditas
industri lain.
Batu bara digunakan untuk bahan campuran
kertas, pupuk, plastik, baja dan keramik. Selain itu, batu bara dimanfaatkan
sebagai sumber panas untuk produksi semen dan gas alam. Pengangkutan batu bara
di Batu Tengah, Kalimantan Timur (19/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)
Produksi Jumbo Batu Bara Hingga kini Indonesia merupakan produsen batu
bara terbesar nomor lima di dunia. Pada 2017, Indonesia menghasilkan sekitar
485 juta ton batu bara atau 7,2% dari total produksi dunia. Di samping itu,
Indonesia adalah eksportir terbesar kedua di dunia setelah Australia. Kurang
lebih 80% dari produksi batu bara nasional ditujukan untuk ekspor. Menurut data
dari Badan Pusat Statistik, selama 2014-2018 industri pertambangan batu bara
dan lignit rata-rata menyumbang 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) per
tahunnya atau ekuivalen dengan Rp 235 triliun.
Selain itu, batu bara merupakan penyumbang nomor
dua dari sektor ekstraktif setelah kelompok minyak, gas, dan panas bumi.
Besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan oleh industri pertambangan batu bara tak
ayal membuat pelaku bisnis batu bara menghasilkan pundi-pundi kekayaan yang
fantastis. Forbes (2018) mencatat, 7 dari 50 orang terkaya di Indonesia,
kekayaannya tak bisa dilepaskan dari keuntungan bisnis batu bara. Dari target
produksi batu bara 2018 sebanyak 485 juta ton, sekitar 271 juta ton atau
55%-nya bersumber dari 8 perusahaan saja. Beberapa perusahaan batu bara skala
besar antara lain: Bumi Resources, Adaro Indonesia, Berau Coal, Indika
Energy, Bukit Asam, Indo Tambangraya Megah, Golden Energy, Baramulti Sukses sarana.
Minimnya Pajak Pertambangan Di
balik fantastisnya nilai ekonomi yang dihasilkan industri pertambangan
batu bara, ternyata kontribusi pajaknya sangat minim. Data dari Kementerian
Keuangan menunjukkan tax ratio yang dikontribusikan dari sektor pertambangan
mineral dan batu bara (minerba) pada 2016 hanya sebesar 3,9%, sementara tax ratio
nasional pada 2016 sebesar 10,4%. Rendahnya tax ratio tersebut tidak bisa
dilepaskan dari permasalahan penghindaran pajak oleh pelaku industri batu bara.
Penghindaran pajak merupakan praktik yang memanfaatkan celah hukum dan
kelemahan sistem perpajakan yang ada. Meskipun tidak melanggar secara hukum,
namun secara moral tidak dapat dibenarkan.
Kementerian Keuangan mencatat jumlah wajib
pajak (WP) yang memegang izin usaha pertambangan minerba lebih banyak yang
tidak melaporkan surat pemberitahuan tahunan SPT-nya dibandingkan yang melapor.
Pada 2015 dari 8.003 WP industri batu bara terdapat 4.532 WP yang tidak
melaporkan SPT-nya. Angka ini tentu belum termasuk pemain-pemain batu bara
skala kecil yang tidak registrasi sebagai pembayar pajak. Perlu dicatat pula
bahwa di antara WP yang melaporkan SPT-nya terdapat potensi tidak melaporkan
sesuai fakta di lapangan. Tidak sedikit pula yang melaporkan SPT-nya dengan
benar namun merupakan hasil dari penghindaran (tax avoidance) dan pengehematan
pajak seperti aggressive tax planning, corporate inversion, profit shifting dan
transfer mispricing.
Tumpukan batu bara di stockpile kawasan dekat
dermaga Desa Bakungan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur,
(17/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA) Aliran Keuangan Gelap Akibatnya,
penerimaan pajak dari sektor minerba, terutama batu bara, masih jauh dari
potensi yang sesungguhnya. Studi dari PRAKARSA (2019) menemukan massifnya
aliran keuangan gelap sektor komoditas batu bara selama 1989-2017 yang berasal
dari aktivitas ekspor. PRAKARSA mencatat adanya aliran keuangan gelap batu bara
dari aktivitas ekspor sebesar US$ 62,4 miliar. Dari nilai tersebut, sekitar US$
41,8 miliar berupa aliran keuangan gelap yang keluar dari Indonesia (illicit
financial outflows) dan US$ 20,6 miliar dollar berupa arus keuangan gelap yang
masuk ke Indonesia (illicit financial inflows).
Secara bersih terdapat aliran keuangan gelap ke
luar negeri sebesar US$ 21,2 miliar atau 25% dari total nilai ekspor batu bara.
Besaran estimasi ini diperoleh dari ketidaksesuaian nilai ekspor yang tercatat
di Indonesia dengan nilai impor negara-negara yang mengklaim mengimpor batu
bara dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia kehilangan potensi PDB sebesar
US$ 21,2 miliar sepanjang 1989-2017. Padahal potensi keuangan gelap yang
berasal dari aktivitas ekspor komoditas batu bara dapat dijadikan basis sumber
potensi penerimaan negara yang dapat dimobilisasi untuk aktivitas pembangunan
kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lainnya.
Illicit financial flows di industri
pertambangan batu bara Indonesia menunjukkan adanya penghindaran pajak. Sealain
itu sebagai pertanda bahwa hal ikhwal perpajakan di sektor batu bara sedang
tidak baik-baik saja. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengingat sudah
banyak regulasi yang mengatur secara ketat mulai dari perizinan operasi hingga
pembagian keuntungan penjualan batu bara. Meskipun demikian, regulasi yang ada
masih memiliki banyak kelemahan terutama karena adanya tumpang tindih regulasi.
Pada 2018, pemerintah mengusulkan Rencana Perubahan ke 6 PP Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara dengan
tujuan untuk meningkatkan iklim investasi yang lebih ramah sehingga keadilan
dapat dirasakan khususnya terhadap perusahaan pemegang lisensi PKP2KB
(Perjanjian Karya Pertambangan Batu bara).
Akan tetapi, usulan perubahan ini menuai banyak
penolakan karena dinilai bertentangan dengan UU Minerba Nomor 4 tahun 2009
mengenai wilayah konsesi di mana RPP mengizinkan PKP2KB memperluas konsesi
melebihi ketentuan IUP. Selain itu RPP terindikasi disusun untuk memudahkan
dalam perpanjangan kontrak dan peralihan ke IUPK. Amandemen ini juga dianggap
lebih memprioritaskan pengusaha batu bara daripada kepentingan nasional. UU
Minerba Nomor 4 tahun 2009 pun tidak lepas dari persoalan dalam implementasinya
sehingga dianggap menimbulkan banyak masalah dalam pengelolaan batu bara.
Sejumlah aturan di tingkat Kementerian/Lembaga
(K/L) dinilai bertabrakan dengan UU Minerba. Hal lain yang banyak memunculkan
sengketa adalah otoritas Pemerintah Daerah untuk memberikan izin pertambangan.
Akan tetapi, berlawanan dengan hal ini, aturan yang ada di tingkat daerah
mengatur bahwa izin pertambangan hanya dapat diberikan oleh Pemerintah
Propinsi. Celah Hukum Penghindaran Pajak Selain persoalan tumpang tindih
regulasi serta adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha
batu bara untuk melakukan penghindaran pajak. Di sisi lain, rendahnya
pendapatan pajak dari sektor batu bara juga diakibatkan oleh masih lemahnya
kapasitas otoritas pajak dan fiskus dalam memeriksa WP sehingga berbagai dugaan
penghindaran pajak atau sengketa pajak yang diajukan oleh otoritas pajak selalu
kalah di pengadilan pajak.
Penghindaran pajak merupakan bagian dari
perencanaan pajak (tax planning). Menurut kamus Black’s Law Dictionary,
penghindaran pajak merupakan upaya meminimalkan kewajiban pajak dengan
memanfaatkan peluang penghindaran pajak (loopholes) tanpa melanggar hukum
pajak. Penghindaran pajak berbeda dengan penggelapan pajak (tax evasion).
Tindakan ini dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak terutang
atau sama sekali tidak membayarkan pajaknya melalui cara-cara ilegal.
Salah satu contoh adalah kasus di mana DJP
menggugat perusahaan batu bara PT Multi Sarana Avindo (MSA) atas dugaan
perpindahan Kuasa Pertambangan yang mengakibatkan kurangnya kewajiban bayar
Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Gugatan tiga kali tahun 2007, 2009 dan 2010
dengan menggugat sebesar 7,7 miliar, DJP kalah di pengadilan. Hingga
kini, DJP masih melayangkan gugatan yang sama. Penelusuran KataData
dan PRAKARSA pada 2018 memperlihatkan bahwa dugaan Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) tersebut secara materiil tidak terbukti. Praktik yang dilakukan PT MSA
merupakan praktik yang tidak melanggar ketentuan.
Kecurigaan DJP tidak sepenuhnya keliru pasalnya
terdapat perbedaan yang mencolok antara besaran produksi yang dihasilkan dengan
jumlah pembayaran pajak yang dilakukan. Namun, DJP seyogyanya dapat mengungkap
lebih mendalam dan membongkar hal yang ada di balik angka-angka laporan yang
disajikan oleh MSA. Apa yang jamak dilakukan oleh industri batu bara merupakan
pengindaran pajak, di mana pelaku mengekploitasi celah atau loophole peraturan.
Kasus MSA salah satu dari sekian kasus yang terindikasi adanya praktik
penghindaran pajak. Salah satu kasus fenomenal terkait sengketa pajak terjadi
pada tahun 2005 di mana DJP mengendus dugaan terjadinya transfer
mis-pricing oleh perusahaan multi nasional Toyota.
Saat itu DJP menuntut Toyota untuk membayar Rp
1,22 triliun karena dugaan praktik transfer mis-pricing, namun gugatan berbalas
gugatan. Toyota menuntut pemerintah untuk mengembalikan kelebihan pembayaran
pajak senilai Rp 412 miliar. Hingga saat ini, kasus tersebut belum menemukan
titik terang. Belajar dari pengalaman, DJP sering mengalami kekalahan dalam
sengketa pajak di pengadilan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas pajak
masih lemah dari sisi kecukupan bukti-bukti dan kapasitas sumber daya manusia,
baik dalam investigasi maupun dalam upaya hukum di pengadilan pajak. Dari
berbagai persoalan perpajakan di Indonesia, perlu segera dilakukan reformasi
mendasar baik dari sisi regulasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas
aparatur. Harapannya ke depan hal-hal terkait pengawasan, penuntutan, penyelidikan
dan penindakan kasus kejahatan perpajakan di Indonesia akan makin baik.
Pemerintah perlu membangun regulasi dan sistem yang lebih terang agar wilayah
abu-abu tidak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis batu bara untuk menghindari
pajak.
Contoh Kasus Tax Evasion
“PT Agri
Grup”
PT Asian Agri Group (AAG)
adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas,
perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun
2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai
US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun). Selain PT AAG, terdapat
perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di
antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL),
Indorayon, PEC-Tech, Sateri International, dan Pacific Oil &
Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet,
kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan
salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik
yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak
goreng.
Awal Mula
Kasus
Terungkapnya dugaan penggelapan
pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol
brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13
November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial
controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya.
Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro
Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura
sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya
inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah
pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun,
sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk
membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah
dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen
yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”,
disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer
pricing PT AAG secara terperinci.
Modusnya dilakukan dengan cara
menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran
PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar
– untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan
begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah
perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian
ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat
Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan
perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin
Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik
dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan
serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik
yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil
penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya
penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak
pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005,
terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa
menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian
transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar.
Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk
badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang
digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan
penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3
triliun.
Dari rangkaian investigasi dan
penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang
masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang
tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan.
Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang
tersangka tersebut.
Kajian
Hukum Sebuah Kasus
Dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa
Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang
diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group
pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan
pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan
atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan Wajib
Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah,
dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah
antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan
perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak
eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group
bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang
diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada
upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum keberatan.
Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian
apakah benar argumentasi hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan
penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang
diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak.
Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum pidana, tentu menjadi
kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya
mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan
penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian
komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak
terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur
disebutkan bahwa hukum pajak tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum
administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum administrasi (hukum pajak)
mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan yang sudah
ditegaskan dalam undang-undang pajak yang mengaturnya. Jika seperti itu,
menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi
kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan
pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan
memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri bagi pelaku dunia
usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika persoalan
penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan
berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam
kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik
oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun
Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan
bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian
hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa perdata, yang apabila
dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak memuat
unsur-unsur :
· Hukum tata negara dan
hukum tata usaha negara.
· Hukum perdata;
· Hukum pidana.
Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu koordinasi
yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses
koordinasi demikian.
Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) telah
diduga melakukan penggelapan pajak (tax evasion) selama beberapa
tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah.
Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu
di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat
menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya
keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri
ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat
kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar
pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan
mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan
denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para
penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007
membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di
bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri
Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus
berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan
itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu
lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court
settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan.
Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu
perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga
masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian
penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif
terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung
ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak
pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif
terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan.
Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung
sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana
perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar -
benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan
perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan
setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang
yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang
berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan DJP. Namun mereka harus
terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak. Asian Agri melayangkan
keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai,
sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24
triliun. Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959
triliun.
General Manajer Grup Asian
Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah disampaikan ke
Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka
waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di
Jakarta, Rabu (4/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan,
dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui telah menerima surat keberatan Asian
Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib memberikan keputusan atas keberatan itu
paling lambat dua belas bulan. Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar
sisa utang pajak seperti dalam SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh
tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP dapatmelakukan penagihan aktif berupa
teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga
pelelangan aset.