Rabu, 27 November 2019


TUGAS
PERPAJAKAN
Contoh Kasus Tax Avoidance dan Tax Evasion”

Contoh Kasus Tax Avoidance

"Gelombang Penghindaran Pajak dalam Pusaran Batu Bara"
Indonesia merupakan pemain kunci dalam percaturan industri pertambangan batu bara dunia. Selama puluhan tahun, industri batu bara selalu dianakemaskan oleh negara lantaran kontribusinya besar dalam perekonomian nasional. Bahkan, kala krisis ekonomi global 2008 melanda, berkat sumbangsih industri batu bara maka kondisi ekonomi Indonesia masih tetap tumbuh. Posisi tersebut membuat pelaku industri pertambangan batu bara relatif tidak mendapatkan pengawasan yang memadai, sehingga acap kali terjadi kasus kerusakan lingkungan dan praktik-praktik imoral berupa penghindaran pajak (tax avoidance).
Batu bara merupakan sumber energi paling primadona. Saat ini hampir 40% sumber pembangkit listrik dunia bersumber dari batu bara. Walaupun tren pemanfaatan energi terbarukan makin tinggi dan bauran energi yang bersumber dari air, angin, cahaya matahari dan panas bumi dengan energi "kotor" yang bersumber dari batu bara dan minyak bumi, namun batu bari masih akan menjadi pilihan utama dalam memproduksi energi. Menurut BP Energy Outlook 2018, batu bara masih akan berkontribusi setidaknya 30% sebagai sumber energi pembangkit listrik dunia. Selain digunakan sebagai sumber energi pembangkit listrik, batu bara juga merupakan bahan untuk berbagai komoditas industri lain.
Batu bara digunakan untuk bahan campuran kertas, pupuk, plastik, baja dan keramik. Selain itu, batu bara dimanfaatkan sebagai sumber panas untuk produksi semen dan gas alam. Pengangkutan batu bara di Batu Tengah, Kalimantan Timur (19/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)   Produksi Jumbo Batu Bara Hingga kini Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar nomor lima di dunia. Pada 2017, Indonesia menghasilkan sekitar 485 juta ton batu bara atau 7,2% dari total produksi dunia. Di samping itu, Indonesia adalah eksportir terbesar kedua di dunia setelah Australia. Kurang lebih 80% dari produksi batu bara nasional ditujukan untuk ekspor. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, selama 2014-2018 industri pertambangan batu bara dan lignit rata-rata menyumbang 2,3% terhadap produk domestik bruto (PDB) per tahunnya atau ekuivalen dengan Rp 235 triliun.
Selain itu, batu bara merupakan penyumbang nomor dua dari sektor ekstraktif setelah kelompok minyak, gas, dan panas bumi. Besarnya nilai ekonomi yang dihasilkan oleh industri pertambangan batu bara tak ayal membuat pelaku bisnis batu bara menghasilkan pundi-pundi kekayaan yang fantastis. Forbes (2018) mencatat, 7 dari 50 orang terkaya di Indonesia, kekayaannya tak bisa dilepaskan dari keuntungan bisnis batu bara. Dari target produksi batu bara 2018 sebanyak 485 juta ton, sekitar 271 juta ton atau 55%-nya bersumber dari 8 perusahaan saja. Beberapa perusahaan batu bara skala besar antara lain: Bumi Resources, Adaro Indonesia, Berau Coal, Indika Energy, Bukit Asam, Indo Tambangraya Megah, Golden Energy, Baramulti Sukses sarana. 
Minimnya Pajak Pertambangan  Di balik fantastisnya nilai ekonomi yang dihasilkan industri pertambangan batu bara, ternyata kontribusi pajaknya sangat minim. Data dari Kementerian Keuangan menunjukkan tax ratio yang dikontribusikan dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) pada 2016 hanya sebesar 3,9%, sementara tax ratio nasional pada 2016 sebesar 10,4%. Rendahnya tax ratio tersebut tidak bisa dilepaskan dari permasalahan penghindaran pajak oleh pelaku industri batu bara. Penghindaran pajak merupakan praktik yang memanfaatkan celah hukum dan kelemahan sistem perpajakan yang ada. Meskipun tidak melanggar secara hukum, namun secara moral tidak dapat dibenarkan.
Kementerian Keuangan mencatat jumlah wajib pajak (WP) yang memegang izin usaha pertambangan minerba lebih banyak yang tidak melaporkan surat pemberitahuan tahunan SPT-nya dibandingkan yang melapor. Pada 2015 dari 8.003 WP industri batu bara terdapat 4.532 WP yang tidak melaporkan SPT-nya. Angka ini tentu belum termasuk pemain-pemain batu bara skala kecil yang tidak registrasi sebagai pembayar pajak. Perlu dicatat pula bahwa di antara WP yang melaporkan SPT-nya terdapat potensi tidak melaporkan sesuai fakta di lapangan. Tidak sedikit pula yang melaporkan SPT-nya dengan benar namun merupakan hasil dari penghindaran (tax avoidance) dan pengehematan pajak seperti aggressive tax planning, corporate inversion, profit shifting dan transfer mispricing.
Tumpukan batu bara di stockpile kawasan dekat dermaga Desa Bakungan, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, (17/1/2019). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA) Aliran Keuangan Gelap Akibatnya, penerimaan pajak dari sektor minerba, terutama batu bara, masih jauh dari potensi yang sesungguhnya. Studi dari PRAKARSA (2019) menemukan massifnya aliran keuangan gelap sektor komoditas batu bara selama 1989-2017 yang berasal dari aktivitas ekspor. PRAKARSA mencatat adanya aliran keuangan gelap batu bara dari aktivitas ekspor sebesar US$ 62,4 miliar. Dari nilai tersebut, sekitar US$ 41,8 miliar berupa aliran keuangan gelap yang keluar dari Indonesia (illicit financial outflows) dan US$ 20,6 miliar dollar berupa arus keuangan gelap yang masuk ke Indonesia (illicit financial inflows).
Secara bersih terdapat aliran keuangan gelap ke luar negeri sebesar US$ 21,2 miliar atau 25% dari total nilai ekspor batu bara. Besaran estimasi ini diperoleh dari ketidaksesuaian nilai ekspor yang tercatat di Indonesia dengan nilai impor negara-negara yang mengklaim mengimpor batu bara dari Indonesia. Hal ini berarti Indonesia kehilangan potensi PDB sebesar US$ 21,2 miliar sepanjang 1989-2017. Padahal potensi keuangan gelap yang berasal dari aktivitas ekspor komoditas batu bara dapat dijadikan basis sumber potensi penerimaan negara yang dapat dimobilisasi untuk aktivitas pembangunan kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lainnya.
Illicit financial flows di industri pertambangan batu bara Indonesia menunjukkan adanya penghindaran pajak. Sealain itu sebagai pertanda bahwa hal ikhwal perpajakan di sektor batu bara sedang tidak baik-baik saja. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar mengingat sudah banyak regulasi yang mengatur secara ketat mulai dari perizinan operasi hingga pembagian keuntungan penjualan batu bara. Meskipun demikian, regulasi yang ada masih memiliki banyak kelemahan terutama karena adanya tumpang tindih regulasi. Pada 2018, pemerintah mengusulkan Rencana Perubahan ke 6 PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara dengan tujuan untuk meningkatkan iklim investasi yang lebih ramah sehingga keadilan dapat dirasakan khususnya terhadap perusahaan pemegang lisensi PKP2KB (Perjanjian Karya Pertambangan Batu bara).
Akan tetapi, usulan perubahan ini menuai banyak penolakan karena dinilai bertentangan dengan UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 mengenai wilayah konsesi di mana RPP mengizinkan PKP2KB memperluas konsesi melebihi ketentuan IUP. Selain itu RPP terindikasi disusun untuk memudahkan dalam perpanjangan kontrak dan peralihan ke IUPK. Amandemen ini juga dianggap lebih memprioritaskan pengusaha batu bara daripada kepentingan nasional. UU Minerba Nomor 4 tahun 2009 pun tidak lepas dari persoalan dalam implementasinya sehingga dianggap menimbulkan banyak masalah dalam pengelolaan batu bara.
Sejumlah aturan di tingkat Kementerian/Lembaga (K/L) dinilai bertabrakan dengan UU Minerba. Hal lain yang banyak memunculkan sengketa adalah otoritas Pemerintah Daerah untuk memberikan izin pertambangan. Akan tetapi, berlawanan dengan hal ini, aturan yang ada di tingkat daerah mengatur bahwa izin pertambangan hanya dapat diberikan oleh Pemerintah Propinsi. Celah Hukum Penghindaran Pajak Selain persoalan tumpang tindih regulasi serta adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha batu bara untuk melakukan penghindaran pajak. Di sisi lain, rendahnya pendapatan pajak dari sektor batu bara juga diakibatkan oleh masih lemahnya kapasitas otoritas pajak dan fiskus dalam memeriksa WP sehingga berbagai dugaan penghindaran pajak atau sengketa pajak yang diajukan oleh otoritas pajak selalu kalah di pengadilan pajak.
Penghindaran pajak merupakan bagian dari perencanaan pajak (tax planning). Menurut kamus Black’s Law Dictionary, penghindaran pajak merupakan upaya meminimalkan kewajiban pajak dengan memanfaatkan peluang penghindaran pajak (loopholes) tanpa melanggar hukum pajak. Penghindaran pajak berbeda dengan penggelapan pajak (tax evasion). Tindakan ini dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak terutang atau sama sekali tidak membayarkan pajaknya melalui cara-cara ilegal.
Salah satu contoh adalah kasus di mana DJP menggugat perusahaan batu bara PT Multi Sarana Avindo (MSA) atas dugaan perpindahan Kuasa Pertambangan yang mengakibatkan kurangnya kewajiban bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Gugatan tiga kali tahun 2007, 2009 dan 2010 dengan menggugat sebesar 7,7 miliar,  DJP kalah di pengadilan. Hingga kini, DJP masih melayangkan gugatan yang sama.  Penelusuran KataData dan PRAKARSA pada 2018 memperlihatkan bahwa dugaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tersebut secara materiil tidak terbukti. Praktik yang dilakukan PT MSA merupakan praktik yang tidak melanggar ketentuan.
Kecurigaan DJP tidak sepenuhnya keliru pasalnya terdapat perbedaan yang mencolok antara besaran produksi yang dihasilkan dengan jumlah pembayaran pajak yang dilakukan. Namun, DJP seyogyanya dapat mengungkap lebih mendalam dan membongkar hal yang ada di balik angka-angka laporan yang disajikan oleh MSA. Apa yang jamak dilakukan oleh industri batu bara merupakan pengindaran pajak, di mana pelaku mengekploitasi celah atau loophole peraturan. Kasus MSA salah satu dari sekian kasus yang terindikasi adanya praktik penghindaran pajak. Salah satu kasus fenomenal terkait sengketa pajak terjadi pada tahun 2005 di mana DJP mengendus dugaan terjadinya transfer mis-pricing  oleh perusahaan multi nasional Toyota. 
Saat itu DJP menuntut Toyota untuk membayar Rp 1,22 triliun karena dugaan praktik transfer mis-pricing, namun gugatan berbalas gugatan. Toyota menuntut pemerintah untuk mengembalikan kelebihan pembayaran pajak senilai Rp 412 miliar. Hingga saat ini, kasus tersebut belum menemukan titik terang. Belajar dari pengalaman, DJP sering mengalami kekalahan dalam sengketa pajak di pengadilan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas pajak masih lemah dari sisi kecukupan bukti-bukti dan kapasitas sumber daya manusia, baik dalam investigasi maupun dalam upaya hukum di pengadilan pajak. Dari berbagai persoalan perpajakan di Indonesia, perlu segera dilakukan reformasi mendasar baik dari sisi regulasi, kelembagaan dan peningkatan kapasitas aparatur. Harapannya ke depan hal-hal terkait pengawasan, penuntutan, penyelidikan dan penindakan kasus kejahatan perpajakan di Indonesia akan makin baik. Pemerintah perlu membangun regulasi dan sistem yang lebih terang agar wilayah abu-abu tidak dimanfaatkan oleh pelaku bisnis batu bara untuk menghindari pajak.











Contoh Kasus Tax Evasion

PT Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) adalah salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp 25,5 triliun).  Selain PT AAG, terdapat perusahaan lain yang berada di bawah naungan Grup Raja Garuda Mas, di antaranya: Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL), Indorayon, PEC-Tech,  Sateri International, dan Pacific Oil & Gas.Secara khusus, PT AAG memiliki 200 ribu hektar lahan sawit, karet, kakao di Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Asia, PT AAG merupakan salah satu penghasil minyak sawit mentah terbesar, yaitu memiliki 19 pabrik yang menghasilkan 1 juta ton minyak sawit mentah – selain tiga pabrik minyak goreng.

Awal Mula Kasus
Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent diburu bahkan diancam akan dibunuh. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pelarian VAS berakhir setelah pada tanggal 11 Desember 2006 ia menyerahkan diri ke Polda Metro Jawa. Namun, sebelum itu, pada tanggal 1 Desember 2006 VAS sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci.

Modusnya dilakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu, beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah perusahaan fiktif.
Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Menindaklanjuti hal tersebut, Direktur Jendral Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeladahan terhadap kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan  tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan Terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga “bahwa dalam tahun pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi. Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal 8 orang tersangka tersebut.

Kajian Hukum Sebuah Kasus
Dalam  persidangan di Pengadilan  Negeri Jakarta Pusat, ternyata diketahui bahwa Majelis Hakim Pengadilan menolak eksepsi dari Manajer Asian Agri Group yang diwakili oleh Pengacaranya. Eksepsi yang disampaikan Pengacara Asian Agri Group pada dasarnya menegaskan bahwa penyelesaian kasus dugaan penyelewengan pajak merupakan kewenangan Pengadilan Pajak karena merupakan persoalan atau sengketa pajak yang sudah diatur dalam undang-undang pajak.
Sengketa pajak yang muncul sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang tidak memuaskan Wajib Pajak harus diupayakan penyelesaiannya secara baik, sederhana, murah, dan cepat. Artinya, ada jalan penyelesaian secara kekeluargaan dengan musyawarah antara kedua belah pihak yang bersengketa dan tetap memperhatikan peraturan perpajakan.
Namun, Majelis Hakim menolak eksepsi Pengacara Asian Agri Group dan berpendapat bahwa kasus Asian Agri Group bukan merupakan sengketa pajak karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh  Direktorat Jenderal Pajak. Kalau sengketa pajak akan ada upaya hukum untuk menyelesaikannya, yaitu melalui upaya hukum  keberatan. Oleh karenanya, kasus Asian Agri Group bisa diadili oleh Pengadilan Negeri.
Penolakan eksepsi inilah yang perlu mendapat kajian apakah benar argumentasi hukum yang dibangun Majelis Hakim hingga kasus dugaan penggelapan pajak bisa dipidana karena tidak adanya surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak sebagai dasar adanya sengketa pajak. Kalau permasalahan pajak dibawa dalam ranah hukum  pidana, tentu menjadi kontradiktif terkait proses administrasi pajak yang tujuan utamanya mengumpulkan uang pajak. Pilihan memidanakan Wajib Pajak atau memprioritaskan penerimaan tentu menjadi politik kepentingan pemerintah. Untuk itu, kajian komprehensif pemidanaan atas pajak, patut menjadi perhatian serius agar tidak terjadi keresahan terus menerus di kalangan dunia usaha dan pegawai pajak.
Seperti diuraikan diatas, dalam banyak literatur disebutkan bahwa hukum pajak tergolong sebagai hukum publik, termasuk hukum administrasi/tata usaha negara. Jalur hukum administrasi (hukum pajak) mempunyai cara penyelesaiannya sendiri sesuai dengan aturan yang sudah ditegaskan dalam  undang-undang pajak yang mengaturnya. Jika seperti itu, menyelesaikan persoalan administrasi pajak dengan cara pidana menjadi kontradiktik ketika negara membutuhkan dana pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan yang tiap tahun jumlahnya terus naik (meningkat). Persoalan memidana Wajib Pajak jelas membawa keresahan tersendiri bagi pelaku dunia usaha. Artinya, pelaku usaha menjadi takut dipidana ketika persoalan penghitungan pajak yang cukup rumit akan dipersoalkan menjadi persoalan berindikasikan tindak pidana.
Pendapat pakar hukum dalam kasus Asian Agri Group di atas, menarik untuk dikaji dan dipahami dengan baik oleh semua aparat penegak hukum terutama aparat Kepolisian, Kejaksaan, maupun Hakim. Kesamaan visi memandang pajak tidak boleh dipidana karena merupakan bagian dari hukum administrasi, harus menjadi perhatian bersama.
Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara memang bersumber pada peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana. Dalam hukum pajak memuat unsur-unsur :
·       Hukum tata negara dan hukum tata usaha negara.
·       Hukum perdata;
·       Hukum pidana. Menyamakan persepsi demikian memang tidak mudah. Diperlukan satu koordinasi yang kuat. Presiden selaku pimpinan eksekutif sebaiknya memimpin proses koordinasi demikian.

Penyelesaian Kasus PT Asian Agri Grup
PT Asian Agri Group (AAG) telah diduga melakukan penggelapan  pajak (tax evasion) selama beberapa tahun terakhir sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. Belum lagi kelar penyidikan, berkembang wacana mengenai penyelesaian kasus itu di luar pengadilan (out of court settlement). Hal ini sangat menggelisahkan kalangan yang menginginkan tegaknya hukum dan terwujudnya keadilan, tanpa pandang bulu. Sangat ironis jika para penjahat kelas teri ditangkapi, ditembaki, disidangkan, dan dimasukkan bui, sementara itu penjahat kerah putih (white collar criminal) yang mengakibatkan kerugian besar pada negara justru dibiarkan melenggang karena kekuatan kapital nya.
Meski peraturan perundangan mengancam pelaku tindak pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi administratif berupa denda.
Ketentuan hukum nyatanya begitu lunak dalam mengatur tindak pidana perpajakan. Peluang out of court settlement dimungkinkan bagi segala jenis tindak pidana perpajakan. Peluang itu tidak hanya berlaku untuk “Perlawanan Pasif terhadap Pajak”, yaitu perlawanan yang tidak dilakukan secara sadar atau disertai niat dari warga masyarakat untuk merintangi aparat pajak dalam melakukan tugasnya. Penghentian penyidikan dan penyelesaian di luar sidang juga berlaku untuk “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” yang perbuatannya dilakukan lewat cara-cara ilegal dan langsung ditujukan pada fiskus/pemerintah.
Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak” sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan ini.
Asian Agri akhirnya benar - benar melayangkan surat keberatan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada 14 anak perusahaannya. Perusahaan perkebunan sawit milik taipan Sukanto Tanoto ini melayangkan surat keberatan setelah membayar senilai Rp 969,675 miliar atau 49% dari total pajak terutang yakni mencapai Rp 1,95 triliun.
Sedari awal Asian Agri memang berniat banding atas penetapan SKP yang ditetapkan DJP. Namun mereka harus terlebih dulu membayar setengah dari total utang pajak. Asian Agri melayangkan keberatan karena menganggap SKP yang mencapai Rp 1,95 triliun tidak sesuai, sebab melebihi total keuntungan perusahaannya yang pada 2002-2005 hanya Rp 1,24 triliun. Total utang pajak plus denda Asian Agri sendiri mencapai Rp 1,959 triliun.
General Manajer Grup Asian Agri, Freddy Widjaya mengatakan, surat keberatan SKP telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar. "Sesuai dengan jangka waktu tiga bulan sejak tanggal penerbitan SKP." ujarnya kepada KONTAN di Jakarta, Rabu (4/9).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kismamtoro Petrus mengakui telah menerima surat keberatan Asian Agri pada 28 Agustus 2013. DJP wajib memberikan keputusan atas keberatan itu paling lambat dua belas bulan. Meski keberatan, Asian Agri tetap harus membayar sisa utang pajak seperti dalam SKP. Jika Asian Agri tidak melunasi seluruh tagihan SKP setelah jatuh tempo, DJP dapatmelakukan penagihan aktif berupa teguran, penerbitan surat paksa, penyitaan dan blokir rekening hingga pelelangan aset.



MAKALAH
“ MENGANALISIS RESIKO KREDIT ”
Description: D:\FILE KULIAH\STIE.jpg




BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bank merupakan lembaga intermediasi yang bertugas menerima simpanan dari nasabah dan meminjamkannya kepada nasabah (unit ekonomi) lain yang membutuhkan dana. Atas simpanan masyarakat, bank memberikan imbalan berupa bunga. Demikian pula, atas pemberian pinjaman (kredit) bank mengenakan bunga kepada para peminjam. Dengan kata lain bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari dan ke masyarakat untuk meningkatkan pelayanan kepada para nasabah tanpa mengabaikan etika perbankan.
Salah satu kegiatan utama bank adalah menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa perkreditan merupakan aktivitas terbesar pada perbankan. Besarnya jumlah kredit yang disalurkan akan menentukan keuntungan bank. Jika bank tidak mampu menyalurkan kredit sementara dana dari masyarakat banyak disimpan, maka alternative lain bank bisa menyalurkan dananya melalui pasar uang maupun pasar modal. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal. Apabila bank tidak melakukan alternative lain selain menyalurkan kredit maka bank akan mengalami kerugian, karena harus membayar bunga simpanan kepada masyarakat.
Data Bank Indonesia menunjukan bahwa total kredit yang disalurkan perbankan mulai mengalami peningkatan. Hingga Oktober 2016, nilai kredit mencapai Rp 4.246,6 triliun. Nilai kredit mengalami pertumbuhan sebesar 7,4% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu pada tahun 2015 (kompas.com 2016).
Perkembangan ekonomi yang semakin global tentu membawa peluang dan risiko yang semakin besar. Risiko kredit merupakan masalah besar bagi dunia perbankan, dan lembaga keuangan pada umumnya. Dengan demikian, risiko kredit perlu mendapatkan perhatian yang khusus. Setiap rupiah yang tidak tertagih menjadi kredit macet, yang kemudian menimbulkan biaya penyisihan dalam laporan laba/rugi.
Kredit disamping memberikan sumbangan terbesar terhadap laba, kredit juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rapuhnya usaha perbankan yaitu dengan tingginya risiko kredit. Risiko terkait dengan adanya ketidakpastian. Risiko kredit ditimbulkan oleh debitur yang secara kredit tidak dapat membayar utang dan memenuhi kewajiban seperti tertuang dalam kesepakatan atau turunnya kualitas debitur atau pembeli sehingga persepsi mengenai kemungkinan gagal bayar semakin tinggi. Risiko kredit perlu dikelola dengan baik karena apabila tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan proposi kredit yang bermasalah semakin besar, sehingga akan berdampak pada kondisi perbankan.
Pengendalian pada Risiko kredit tentu dilakukan oleh setiap bank. Pengendalian tersebut diantisipasi oleh kualitas suatu sistem manajemen risiko kredit yang baik untuk meminimalkan risiko kredit. Pengetahuan mengenai manajemen risiko kredit sangat penting dan berguna sebagai salah satu input alternative dalam mempertahankan kondisi perbankan agar tetap stabil.

1.2    Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini antara lain:
1.        Apa pengertian risiko kredit?
2.        Bagaimana jenis risiko kredit?
3.        Bagaimana proses pengukuran resiko kredit berdasarkan Banking for International Settlement (BIS)?
4.        Bagaimana cara manajemen resiko kredit?

1.3    Tujuan
 Tujuan makalah ini antara lain:
1.        Mengetahui pengertian dari risiko kredit.
2.        Mengidentifikasi jenis risiko kredit
3.        Mengetahui pengukuran resiko kredit berdasarkan Banking for International Settlement (BIS)
4.        Mengetahui cara manajemen resiko kredit

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Resiko Kredit
Menurut Hardanto (2006), mengemukakan bahwa risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang gagal memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Dengan kata lain, risiko kredit adalah risiko karena peminjam tidak membayar utangnya. Risiko kredit timbul dari beberapa kemungkinan sebagai berikut :
a.        Debitur tidak dapat melunasi utangnya.
b.        Obligasi yang dibeli Bank, tidak membayar kupon dan atau pokok utang.
c.        Terjadinya non-performance (gagal bayar) dari semua kewajiaban antara bank dengan pihak lain.
Besarnya risiko kredit terdiri dari dua faktor yaitu besarnya eksposur kredit dan kualitas eksposur kredit. Besarnya eksposur kredit sama dengan besarnya pinjaman itu sendiri. Semakin besar pinjaman semakin besar juga tingkat eksposur kredit. Kualitas eksposur dicerminkan oleh kemungkinan gagal bayar dari debitur secara kredit dan kualitas dari jaminan yang diberikan oleh debitur atau pembeli kredit. Semakin rendah kualitas jaminan, semakin rendah kualitas kredit maka semakin tinggi risiko kredit yang dihadapi (Djohanputra 2004).
Menurut Sastradipoera (2001), risiko kredit merupakan salah satu risiko yang umum dihadapi oleh bank dalam pemberian kredit. Risiko kredit mengambil bagian terbesar dalam kegiatan perbankan karena pemberian pinjaman dan investasi merupakan bagian terbesar dalam aktiva bank.
a.        Risiko kredit timbul karena ketidakpastian pelunasan pinjaman oleh debitur. Kegagalan memenuhi perjanjian pelunasan sebagian atau seluruhnya.
b.        Risiko kredit merupakan risiko yang disebabkan oleh investasi yang tidak memberikan pendapatan atau bisa dikatakan risiko yang mengakibatkan pengurangan aktiva modal.

2.2    Jenis Resiko Kredit
Berdasarkan counterparty, risiko kredit dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.        risiko kredit pemerintahan (sovereign credit risk)
Risiko kredit pemerintahan berhubungan dengan Pemerintah suatu negara yang tidak mampu membayar pokok dan bunga pinjamannya pada saat jatuh tempo, terutama pinjaman bilateral antarnegara.
2.        risiko kredit korporat (corporate credit risk)
Risiko kredit korporat adalah risiko gagal bayar dari perusahaan yang menerbitkan surat utang, gagal bayar dari perusahaan yang telah memperoleh kredit, serta gagal bayar dari perusahaan memperoleh penyertaan modal. Risiko korporat lebih berisiko dan lebih sering terjadi dalam Bank.
3.        risiko kredit konsumen (retail customer credit risk)
Risiko kredit konsumen adalah risiko kredit yang terkait dengan ketidakmampuan debitur perorangan dalam menyelesaikan pembayaran kreditnya.
Berdasarkan perbedaan menurut counterparty-nya seperti dijelaskan di atas, dapat dijelaskan lebih dalam bahwa risiko kredit konsumen membatasi pada pemberian kredit konsumen individu yang digunakan untuk tujuan konsumtif dan dalam hal ini sumber pengembalian kredit tidak berasal dari objek yang dibiayai. Sedangkan berdasarkan komponen utama dari risiko kredit, terbagi menjadi tiga komponen, yakni:
a.       probability of default, adalah kemungkinan debitur gagal untuk melakukan pembayaran sesuai yang diperjanjikan
b.      recovery rate, adalah bagian yang dapat diterima Bank apabila debitur default
c.       credit exposure, adalah hal-hal yang berkaitan dengan jumlah pinjaman pada saat terjadi default

2.3    Pengukuran Resiko Kredit Berdasarkan Banking for International Settlement (BIS)
Sebelum liberalisasi keuangan pada tahun 1970-an dan 1980-an regulasi keuangan yang dilakukan terfokus pada pemberian izin mendirikan lembaga keuangan; pembatasan yang tegas mengenai aktivitas yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan pada masing-masing institusi keuangan; definisi dari rasio-rasio pada neraca dan persyaratan giro wajib minimum. Pemecahan masalah dari regulasi diatas mulai dipikirkan sejak pertengahan dekade 1970-an.
Pendekatan “pengawasan dengan prinsip kehati-hatian” mulai dipertimbangkan dalam melakukan regulasi. Pemikiran mengenai pentingnya prinsip kehati-hatian ini menjadi dasar munculnya ide para Banker internasional untuk keseragaman regulasi secara internasional yang dinamakan Basel Accord. Komite Basel (The Basel Committee) dicetuskan tahun 1974 dengan diprakarsai oleh para gubernur Bank Sentral negara-negara yang tergabung dalam G10 (the Group of Ten). Komite Basel pertama kali mempublikasikan The First Basel Capital Accord (BASEL I) pada tahun 1988 dan The Second Basel Capital Accord (BASEL II) pada tahun 2004.
Dalam ketentuan Basel I, rasio kecukupan modal hanya dikaitkan dengan risiko kredit dengan didasari oleh beberapa kalkulasi yang terdiri dari:
-              Bobot risiko aktiva dan bobot risiko
-              Penyetaraan dengan risiko kredit
-              Target rasio modal dan kalkulasi konsumsi modal yang memenuhi syarat
-              Kecukupan hasil pada modal yang memenuhi syarat
-              Struktur modal
Berdasarkan Basel I, Bank perlu memiliki kecukupan modal, karena:
-              Merupakan unsur terpenting bagi Bank dalam menjaga solvabilitas.
-              Modal merupakan sumber untuk menyerap kerugian Bank
-              Modal merupakan nilai investasi pemegang saham di Bank.
Basel I menentukan besarnya minimum rasio modal adalah 8%. Formula Rasio Modal :
Untuk pendekatan yang terdapat dalam Basel II berbeda secara mendasar dibandingkan dengan Basel I. Perbedaan ini terlihat dalam Tabel 2.1. berikut ini.
Tabel 2.1.
Perbandingan Basel I dengan Basel II
BASEL I
BASEL II
Fokus pada sebuah pengukuran tunggal Bank yang berbeda-beda
Fokus pada internal metodologi
Memiliki pendekatan yang sederhana terhadap sensitivitas risiko
Memiliki tingkat sensitivitas risiko yang lebih tinggi
Menggunakan pendekatan ”one single size fits all” pada risiko dan modal
Fleksibel untuk disesuaikan terhadap kebutuhan
Hanya mencakup risiko kredit dan risiko pasar
Mencakup risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional, dan risiko lain-lain

Sumber: Global Association of Risk Professional (GARP), Basel II
Basel II menggunakan pendekatan baru untuk penilaian dan pengawasan Bank. Basel II adalah rekomendasi hukum dan ketentuan perbankan kedua yang merupakan penyempurnaan Basel I. Dalam Basel II mencakup tiga konsep yang dikenal Tiga Pilar, yakni:
a.       Pilar 1 – Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (Minimum Capital Requirement). Dalam pilar ini, Bank diminta untuk mengkalkulasi modal minimum untuk risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Risiko kredit dihitung dengan Standardized Approach dan Internal Rating Based (IRB) Approach yang terdiri dari Foundation IRB Approach dan Advanced IRB Approach. Risiko pasar dihitung dengan Standardized Approach dan Internal Model Approach. Risiko operasional dihitung dengan Basic Indicator Approach, Standardized Approach, dan Advanced Measurement Approach.
b.      Pilar 2 – Tinjauan Berdasar Regulasi (Regulatory Overview). Pilar 2 fokus terhadap berbagai persyaratan modal diatas tingkat minimum yang dihitung pada Pilar 1, dan tindakan awal yang perlu dilakukan untuk menghadapi emerging risk. Pilar 2 mengandung tiga area utama sebagai berikut:
·            Risiko konsentrasi kredit yang diberikan oleh Bank
·            Interest rate in the Banking book risk.
·            Risiko-risiko lain seperti risiko reputasi, risiko bisnis, risiko strategis, serta risiko yang timbul dalam menjalankan usaha Bank
c.       Pilar 3 – Disiplin Pasar yang Efektif (Effective Use of Market Discipline) sebagai pengungkit untuk memperkuat keterbukaan dan mendorong agar Bank lebih aman dalam prakteknya.

2.4     Manajemen Resiko Kredit
Menurut Djohanputra (2004), Ada beberapa cara pengelolaan risiko kredit, diantaranya:
a.       Penyaringan
Cara ini menekankan pada pencegahan agar gagal bayar terhindar. Perlu tim yang baik untuk melakukan analisis dan pemeringkatan nasabah sehingga nasabah yang melakukan moral hazard dan moral hazard bisa dikeluarkan dari daftar calon nasabah.
b.      Program Pembatasan
Perusahaan menetapkan kebijakan untuk membatasi besarnya kredit yang diterima oleh satu nasabah atau satu grup nasabah. Dunia perbankan mengenal BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) atau 3L (Legal Leding Limit) yang bertujuan untuk membatasi pemberian kredit yang berlebihan kepada nasabah.
c.       Diversifikasi
Kredit Perusahaan menetapkan kebijakan mengenai diversifikasi pinjaman yang dikaitkan dengan pembatasan diatas. Kebijakan diversifikasi dapat berupa:
-              Sebaran kredit berdasarkan perusahaan.
-              Sebaran kredit berdasarkan industri.
-              Sebaran kredit berdasarkan ukuran perusahan.
-              Sebaran kredit berdasarkan sektor.











Analisis tingkat risiko kredit pada PT. Bank MNC Internasional,Tbk

Menyusun analisa tingkat risiko kredit tahap-tahap yang perlu dilaksanakan dalam analisis ini adalah menganalisis dan membuat laporan data kredit pada PT. Bank MNC Internasional, Tbk.
Dalam kegiatan perkreditan bank, khususnya PT. Bank MNC Internasional,Tbk terdapat pengembalian kredit yang bermasalah baik disengaja atau tidak. Pengembalian ini sering disebut Non Performing Loan (NPL) atau pengembalian kredit bermasalah yang terdiri dari kurang lancar, diragukan, dan macet. Berikut  ini  rincian  Non  Performing  Loans  (kolektibilitas  kurang  lancar,  diragukan,  dan macet) PT. Bank MNC Internasional, Tbk :

Tabel 1
PT. Bank MNC Internasional, Tbk
Rincian Kredit Non Performing Loan
Per 31 Desember 2013


Sumber : www.idx .co.id 2013 (diolah)
Rincian kredit Non Performing Loan per 31 Desember 2013 dilihat dari jumlah kredit pada kriteria diragukan dan macet hampir sama. Sedangkan presentase kredit bermasalah dengan jumlah
kredit yang diberikan sebesar 0,06%.
Tabel 2
PT. Bank MNC Internasional, Tbk
Rincian Kredit Non Performing Loan
Per 31 Desember 2014

Sumber :www.idx.co.id (diolah)
Rincian kredit Non Performing Loan per 31 Desember 2014 dilihat dari jumlah kredit pada kriteria diragukan dan macet hampir sama. Sedangkan presentase kredit bermasalah dengan jumlah kredit yang diberikan sebesar 0,05%.

Tabel 3
PT. Bank MNC Internasional, Tbk Rincian Kredit Non Performing Loan Per 31 Desember 2015

Sumber :www.idx.co.id (diolah)
Komposisi kredit Non Performing Loan per 31 Desember 2015 pada kolektibilitas macet menurun jika dibandingkan pada tahun 2014. Sehingga presentase kredit bermasalah dengan jumlah
kredit yang diberikan sebesar 0,04%.


















4.1  Pembahasan :
Berdasarkan  perhitungan  tersebut,  maka  Non  Performing  Loan  (NPL)  tahun  2013-2015 dapat dirata-ratakan menjadi :
0,06% + 0,05% + 0,04% = 0,15%


Jadi rata-rata NPL      = 0,15%
                                                         3

                                                = 0,05%
Perhitungan  tingkat  risiko  kredit  dengan  menggunakan  analisis  Credit  Risk  Ratio,  berdasarkan kolektibilitas kredit dari PT. Bank MNC Internasional,Tbk maka akan diperoleh sebagai berikut :
Bad Debts

Credit Risk Ratio  =

Total Loan



A.  Credit Risk Ratio pada tahun 2013

1.      Bad Debts

a.
Kurang Lancar
= Rp 16.286

b.

Diragukan

= Rp 21.517

c.

Macet

= Rp 266.228

d.

Total Loans

= Rp 304.031






Credit Risk Ratio 2013

   
=


Rp 5.067.739








Credit Risk Ratio 2013            = Rp. 304.031
                                                               Rp. 5.067.739
                                                            = 0,06%
Diketahui  tingkat  risiko  pada tahun  2013 yang  ada  sebesar Rp  304.031 atau  sebesar 0,06%  ini menunjukkan bahwa risiko kredit tersebut berada di bawah risiko kredit yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) dengan presentase kelebihan sebagai berikut: 5% - 0,06% = 4,94%


B.  Credit Risk Ratio pada tahun 2014

2.   Bad Debts
a.   Kurang Lancar      = Rp 24.558
b.   Diragukan             = Rp 13.285
c.   Macet                    = Rp 217.425
d.   Total Loans           = Rp 255.268


Credit Risk Ratio 2014           = Rp 255.268
                                                     Rp 5.282.365

Diketahui  tingkat  risiko  pada tahun  2014 yang  ada  sebesar Rp  255.268 atau  sebesar 0,05%  ini menunjukkan bahwa risiko kredit tersebut berada di bawah risiko kredit yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) dengan presentase kelebihan sebagai berikut:
5% - 0,05% = 4,95%

C.  Credit Risk Ratio pada tahun 2015

3.   Bad Debts

a.   Kurang Lancar      = Rp 18.091
b.   Diragukan             = Rp 37.269
c.   Macet                    = Rp 178.793
d.   Total Loans           = Rp 234.153


Credit Risk Ratio 2015           =   Rp 234.153
                                                     Rp. 5.968.837
  =   0,04%

Diketahui  tingkat  risiko  pada tahun  2015 yang  ada  sebesar Rp  234.153 atau  sebesar 0,04%  ini menunjukkan bahwa risiko kredit tersebut berada di bawah risiko kredit yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) dengan presentase kelebihan sebagai berikut:
5% - 0,04% = 4,96%




Tabel 4
PT. Bank MNC Internasional, Tbk
Nilai rata – rata prosentase
Pada tahun 2013 - 2015




Rata – rata =  0,05% Dapat disimpulkan bahwa dilihat dari aspek Non Performing Loan (NPL) yang terdiri dari kolektibilitas kurang lancar, diragukan dan macet. Dan persentase dari tahun ketahun mengalami penurunan dan nilai rata-rata persentasenya sebesar 0,05% atau tidak lebih dari 3% dilihat dari tingkat kesehatan bank sebesar 5% menurut ketetapan Bank Indonesia (BI), maka tingkat risiko PT. Bank MNC Internasional, Tbk berada pada kategori rendah. Dari data diatas jumlah kredit bermasalah dari tahun ketahun semakin berkurang sedangkan total kredit yang diberikan semakin bertambah. Maka hal ini akan berpengaruh pada jumlah Non Performing Loan (NPL).




















BAB III
PENUTUP

3.1    Kesimpulan
1.      Risiko kredit adalah risiko kerugian yang berhubungan dengan peluang gagal memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo
2.      Terdapat 3 jenis risiko kredit, antara lain risiko pemerintahan, risiko korporat,  dan risiko konsumen.
3.      Resiko kredit dapat diukur dengan menggunakan metode dari Banking for International Settlement (BIS) yaitu dengan mempertimbangkan rasio kecukupan modal
4.      Ada beberapa cara pengelolaan risiko kredit, antara lain: penyaringan, program pembatasan, diversifikasi

3.2    Saran
1.        Perlu adanya penelitian nyata mengenai penerapan manajemen kredit di beberapa intansi khususnya bank.










































DAFTAR PUSTAKA

Hardanto SS. 2006. Manajemen Risiko bagi Bank Umum. Jakarta(ID): Elex Media Komputindo.
Djohanputra B. 2006. Manajemen risiko terintegrasi. Jakarta(ID): Penerbit PPM
Sastradipoera K. 2001. Manajemen Perbankan. Bandung(ID): Kappa Sigm


 

TUGAS PERPAJAKAN “ Contoh Kasus Tax Avoidance dan Tax Evasion” Contoh Kasus Tax Avoidance "Gelombang Penghindaran Pajak d...